September 2008
“Aku menyayangimu Dik, Kau mau menjadi pacarku?”
Tawaran itu mampu melumpuhkan seluruh syaraf yang ada pada tubuhku. Rasaku tak mampu keluarkan kataku. Aku menutup telfon darimu, memandangi ponselku. Masih teramat asing, tapi aku merasakannya.
Paling tidak Aku telah jujur dengan perasaanku, kamu butuh waktu berapa lamapun aku akan menunggu.
Sebaris sms yang kau kirim setelah aku mematikan telfonmu. Aku masih tak bisa berpikir, layaknya amnesia tak mampu mengingat apapun. Ponselku masih tergenggam ditanganku dan anganku membawa ke-amnesia-anku ke alam bawah sadarku.
Desember 2008
Aku tak bisa mengenyahkanmu dari memori otak kecilku. Meski kau tak pernah muncul semenjak itu, namun aku masih tak bisa memberi jawaban, penolakan ataukah penerimaan? Karna aku sendiri tak mampu mendeskripsikan hatiku, jiwaku dan rasaku.
Diktat kuliah yang menumpuk, tanggungjawab organisasi yang segebokpun tak mampu menggoyahkan keberadaanmu diotakku. Ingin rasanya kucongkel isi kepalaku, dan mengambil memori terkecil yang isinya adalah keberadaanmu.
“Please tell me what do you feel Te..!!”
Berkali-kali sahabatku Icdha menawarkan hal yang sama ketika melihatku duduk terpaku, dengan pandangan dan kertas kosong serta bolpoin di tangan yang menempel diatas keningku. Gaya berpikir ala profesor zaman peradaban. Dan aku tak pernah memberinya jawaban berupa kata, hanya ulasan senyum dan gelengan kepala. Seolah-olah tak ada apa-apa dikepalaku.
Januari 2009
Genap 20 tahun usiaku. Banyak kado spesial hingga tak mampu kusebut. Kasih sayangNya, karuniaNya, kenikmatanNya, dan keridloanNya adalah Kado terbesar dan teristimewa versiku yang telah mencapai kepala dua.
Kedewasaanku apakah bisa kuukur dengan usiaku?
Keberadaanku apakah bisa kuukur dengan usiaku?
Kepintaranku apakah bisa kuukur dengan usiaku?
Catatan awal tahun ke-20
Selamat ulang tahun Dik...
Aku merindukanmu utuh dalam jasadku..
Entah apa jawabmu kuharap?
Sms keduamu setelah kau nyatakan perasaanmu padaku. Aku tak berani membalas, hanya kusimpan dalam arsip diponselku tepat dibawah smsmu empat bulan silam. Aku bodoh ataukah aku terlalu tolol menggantung perasaan orang selama itu. Sebodoh dan setololnya aku apa tak lebihnya kamu? Menurutku hanya orang bodoh dan tolol yang mau menunggu jawaban yang tak pasti berapa lamapun itu. Dan lebih bodoh dan tololnya aku masih tak bisa mengetahui hatiku, rasaku dan jiwaku.
Usai menyimpan smsmu, ayahku menelfon.
“Nduk, kuliah sing temenan. Umur wes 20 tahun, Bapak mek iso dungakne mugo barokah sekabehane.. Amin..”
Cukup singkat, namun suara berat ayahku mampu melelehkan airmataku. Aku merindukannya, sangat merindukannya. Rasanya ingin pulang, tapi itu tak kan mungkin. Patokan ayah, sebelum Usai ujian semester aku tidak boleh pulang. Aku hanya mampu mengambil nafas panjang. Menetralisir rinduku yang menggebu pada Ayah, Ibu, serta adik-adikku. Meski kutahu ujian semester kurang seminggu lagi, dan waktuku pulang kurang 3 minggu lagi. Aku masih merasa sulit meminimalisir perasaanku kepada keluargaku.
Tanpa kesengajaan dan tanpa permintaan, pikiranku tentangmu kalah dengan kerinduanku terhadap keluargaku. Apakah itu jawabanku untukmu? Aku masih tak yakin dan dalam ketidak yakinanku kembali lagi aku memikirkanmu.
Maret 2009
Menghabiskan masa libur bersama keluarga dirumah. Tak ada kata yang tak indah, tak ada rasa yang tak bahagia, dan tak ada ceria yang tak terasa. Semua ada di istanaku, rumahku dan keluargaku. Rumahku tak merdu tanpa bentakan lantang ayahku. Rumahku tak syahdu tanpa tangis manja adikku. Rumahku tak ceria tanpa omelan nyaring ibuku, dan rumahku tak kan lengkap tanpa adanya aku. Apa aku hanya berfungsi sebagai pelengkap kalau akulah anak pertama? pertanyaan aneh bersarang diotakku dan pertanyaan itu tak butuh jawaban, bahkan mungkin tak ada jawaban.
Waktu kembali membawaku kehabitat peradaban dunia pendidikan. Berteman dengan kertas, bolpoin, laptop, makalah dan seperangkat pelengkap kuliah lainnya membuatku melupakan sejenak dirimu. Benar adanya aku sejenak melupakanmu, karna semester ini aku mengambil 26 Sks. Merupakan pemaksaan otak supaya tak terus-terusan manja padaku.
Mei 2009
“Te, kamu dicari seseorang!”
Teriak salah seorang temanku dari ambang pintu kelasku, aku memandanginya. Menunggu reaksi selanjutnya.
“Orangnya ditaman sebelah kantin.”
Info yang cukup akurat menurutku, karna tanpa aku menanyakan lagi aku sudah paham. Segera aku melangkahkan kakiku menuju tempat yang ditunjukkan temanku tadi. Dari jarak kira-kira 1 meter aku melihat punggung seorang lelaki bertubuh jangkung, memakai jacket biru dan jeans belel lengkap dengan sepatu bututnya. Aku mengenalnya, benar mengenalnya. Hatiku berucap balik arah, tapi kakiku tak mampu. Terpaku tanpa kata, tertunduk tanpa aba. Seseorang itu membalikkan badannya. Aku melihat dari gerak kakinya namun masih tak berani mengangkat wajahku.
“Apa kabar Dik?”
Sapaan singkat yang membuat tubuhku serasa lumpuh. Aku benar-benar seperti seorang tahanan yang siap dihukum mati, pasrah tanpa pandangan dan ucapan. Seseorang itu melangkah maju dan semakin dekat denganku. Aku sudah tak tahu harus bagaimana.
“Te, Ayo ikut aku!! BEM masuk UGD, butuh suntikanmu.”
Tiba-tiba salah seorang temanku menarik lenganku.
“Maaf Mas, saya pinjam Tere dulu, darurat!”
Teriaknya sambil menyeret dan mengajakku setengah lari menuju kantor BEM. Dan selanjutnya aku benar-benar terbelenggu didalam istana BEM, tak henti-hentinya memberikan suntikan kepada penghuninya yang keracunan omongan tak berujung, hingga menyebabkan pertarungan hebat diantara organ dan sel-sel yang ada pada pencernaan BEM.
Juli 2009
26 SKS sukses kutempuh. Apapun hasilnya nanti aku yakin tak akan mengecewakanku dan orang tuaku. Aku tak pulang untuk liburan kali ini. Memfokuskan diri untuk persiapan OSPEK mahasiswa baru. Aku tak bisa meninggalkan tanggungjawabku. Bekerja bersama panitia lainnya merupakan hal mengasyikkan. Mempersiapkan segala sesuatunya untuk mahasiswa baru untuk mengenal lebih jauh tentang hakikat mahasiswa sebenarnya, seluk beluk kampus dan civitas akademik.
“Te, menurutmu apa tema yang pas untuk OSPEK tahun ini?”
Tanya sang ketua panitia.
“Apa ajalah, menurut yang lain bagaimana?”
Aku mengalihkan pertanyaan untuk panitia lainnya. Berharap opsi itu muncul dari mulut generasi penerus BEM. Namun mereka lebih suka bungkam tanpa suara. Aku mengerti keadaan seperti ini sering terjadi.
“Ayolah kawan, salurkan suaramu..!”
Berlagak sok memotivasi mereka. Namun lagakku yang sok mampu membawa mereka menyalurkan suaranya. Berawal dari ketua panitia lalu disusul dari anggota lainnya. Hingga terjadilah kesepakatan bersama untuk tema OSPEK tahun ini.
“Merekontruksi Mindset Mahasiswa ”
Selain persiapan OSPEK aktivitas keduaku adalah bekerja parttime, mencoba mengumpulkan rupiah dari keringatku sendiri, aku menyukai pekerjaanku. Menyalurkan sekelumit ilmu yang ada di otakku untuk adik-adik umur 10 tahun yang mayoritas kelas 4 SD. Cukup menyenangkan bersama mereka, walaupun kadang juga menjengkelkan ketika antara mereka ada yang saling ejek dan berujung pertengkaran kecil. Sejauh ini aku mampu mengatasi masalah tersebut dengan problem solving ala kadarnya.
Masihkah kau ada untukku?
Sms darimu dipenghujung malam membuatku tertahan. Menyadarkanku bahwa aku tak memperdulikanmu setelah tragedi kedatanganmu di kampusku.
Tuhan.. Aku masih tak mampu memberi jawaban kepadanya..
Apa aku salah dengan keadaanku Tuhan??
Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati..
Wahai Dzat yang menguasai hati..
Tetapkanlah hatiku Tuhan..
Tetapkan hatiku..
*Penghujung malam, Juli 2009
September 2009
Awal perkuliahan dipertengahan semester. Menyiapkan segalanya demi kelancaran. Aku masih melanjutkan pekerjaan parttime ku. Terlancur cinta hingga membuatku tak kuasa meninggalkannya. Lagipula tak membuat waktuku tersita karenannya. Malah waktuku lebih tersita untuk sekedar memikirkanmu dengan segalamu disana.
Disuatu sore yang indah, ayah menelfonku. Tak biasanya.
“Bisa pulang barang sehari Nduk? Ada hal yang genting yang membutuhkan kedatanganmu.”
Ayah adalah seorang yang memang tak suka basa basi, apa yang ingin dikatakan itu yang akan dilakukan, tanpa ada embel-embel apapun. Ciri khas ayah tersebutlah yang membuatku selalu mengagumi dan membanggakannya.
Hal genting apa hingga membutuhkan kehadiranku? Pertanyaan tersebut bersarang diotakku. Yang pasti aku harus pulang. Aku memutuskan pulang seminggu, mengorbankan jam kuliahku, tak apa hanya sekali. Akademik masih memberikan dispensasi hingga empat kali. Jadi tak ada yang perlu dipermasalahkan.
“Rio melamarmu Nduk..” Pernyataan ayah membawa anganku melayang mengelilingi jagad raya. Mencari makna yang terselubung dalam lubuk hatiku.
“Apa kamu sudah ada jawabannya Nduk? Dia telah menceritakan semua kepada Bapak perihal kedekatan kalian.”
Pertanyaan ayah lebih membuatku menjadi manusia patung. Jawaban itu lebih mengarah kehubungan yang lebih serius, tak sekedar jawaban yang ditunggu Rio berbulan-bulan kemarin atas ungkapan hatinya dan memintaku menjadi pacarnya. Dan saat ini aku diminta menjadi istrinya, bukan pacarnya.
“Menenge wong wadon kuwi tandane gelem Nduk.. apa tak ada sepatah katapun untukmu meyakinkan Bapak dan Ibumu?”
Mahasiswa macam apa aku ini? Dikelas berlagak sok aktif dengan beragam opsi, pertanyaan dan sanggahan, di organisasi berlagak sok keren dengan berbagai macam kritikan dan solusi. Tapi kenapa hanya untuk menjawab pertanyaan satu dari ayahku aku tak mampu. Sebodoh dan setolol apa otakku.
Aku mengumpulkan keberanian untuk memberi jawaban itu kepada ayah. Dengan segenap kekuatan yang ada dilahir dan bathinku.
“Menurut Bapak bagaimana?” Shiit! Umpatku dalam hati. Kenapa malah pertanyaan balik yang kulontarkan.
“Piye toh Nduk, Kok malah balik tanya ke Bapak? Bapak kepingin ngerti dulu perasaanmu ke Rio itu bagaimana. Baru bapak akan memberikan penjelasan padamu.”
Suara berat ayah selalu membuatku sedikit lebih tenang. Aku harus mengakui perasaanku. Perasaan yang selama ini ditunggu oleh Rio, yang baru aku temukan setelah membaca sms terakhir Rio : Masihkah kau ada untukku? . jawabannya iya aku ada untukmu Rio. Sekarang aku akan mengungkapkannya. Kepada Ayah akan kuungkap segala rasaku.
“Aku mencintainya Pak..”
Terasa seluruh bethon yang ada dikepalaku runtuh. Melonggarkan nafas dan pikiranku.
Namun terasa berat lagi ketika seseorang tak diundang masuk kedalam majlis keluargaku. Aku tertunduk, berpikir apakah dia tadi mendengar pernyataanku? Aku malu. Malu pada diriku sendiri.
“Duduklah Nak..!” ayah mempersilahkan dia duduk, tepat disebelahku, antara aku dan ayah. Ayah menyuruh ibu membuatkan minum. Aneh! Pekikku, kenapa tidak aku saja yang disuruh ayah untuk buatkan minum? Kenapa malah ibu? Seikat pertanyaan tak terjawab bersarang diotakku. Akupun tak ada keberanian menawarkan diri.
Ayah mengambil nafas berat seraya meminum teh yang ada didepannya. Pertanda ada sesuatu yang berat yang akan ayah katakan, aku cukup mampu membaca sikap ayah.
“Rio, kamu tentu sudah mendengar ungkapan hati anakku kan?” Rio mengangguk mendengar pertanyaan ayah, aku melihatnya sekilas lalu tertunduk lagi.
“perlu kalian ketahui, bahwa kalian berdua adalah saudara. Memang bukan saudara kandung, tapi saudara sepersusuan, dimana didalam Islam tak membolehkan pernikahan itu terjadi antara saudara sepersusuan.” Pernyataan ayah meluncur mulus laksana roket yang menembus dinding langit. Aku tertunduk semakin dalam, perkataan ayah menembus dinding ulu hatiku. Memporak-porandakan bangunan cinta yang kurangkai dan kudesain indah sekian tahun dihatiku. Tanpa sadar air mataku berderai, menganak sungai di pelupuk mataku. Aku tak mengerti dengan skenario yang ditulisNya untukku, skenario yang mengantarkanku didetik yang membuatku merasa gelap memandang masa depan.
Disisi lain, Rio hanya mampu menggigit bibir mendengar ucapan ayahku. Aku tahu pantang baginya untuk menangis. Dia menangkis air matanya dengan menengadahkan kepalanya.
Ayahku memahami keadaan ini.
“Maafkan Bapak yang tak bisa membaca arah kedekatan kalian, kalian terlalu dekat sejak kecil. Jadi bapak pikir kedekatan kalian hanya sebatas saudara. Rio, ibumu meninggal karena memilih bayinya yang ingin diselamatkan, yaitu kamu. Pasca meninggalnya ibumu, dokter menyarankan agar kamu diberi minum susu yang biasa dijual di supermarket. Namun, kamu menolak dikasih minum susu yang dibelikan ayahmu tersebut. Akhirnya, aku sebagai sahabat ayahmu yang merasa kasihan padamu pun juga ayahmu menyarankan agar kau disusui oleh istriku. Waktu itu Tere masih belum lahir, dan istriku juga masih dalam keadaan duka karna bayi pertama kami yang berumur 2 bulan diminta kembali olehNya. Dan hasilnya sangat mengejutkan, kamu langsung cocok dengan istriku. Dan istrikupun teramat senang, kamu laksana obat pelipur laranya. ”
Ayah menceritakan kronologi persaudaraanku dengan Rio. Aku mendengarkannya masih dengan perasaan yang campur baur. Rio pun kurasa demikian.
“Jadi, Bapak harap kalian bisa mengerti dengan semua penjelasan dan penjabaran tadi, maafkan Bapak nak..”
Ayah berkata sendu, lalu meninggalkan kami berdua.
Ibuku yang disuruh ayah membuatkan minuman dari tadi juga tak muncul. Mungkin beliau merasa terpukul dengan keadaan ini.
Aku masih tertunduk.
“Dik, maafkan aku atas kelancanganku. Aku harus pergi ”
Ucapan Rio tak mampu menyadarkanku. Dia meninggalkanku, ya! Dia meninggalkanku, bukan aku yang meninggalkannya. Aku tak tahu apa yang ada dihati dan pikirannya, namun aku bisa mengerti makna kepergiannya.
“Aku masih akan tetap mencintaimu, Kak..” bisikku perlahan..
Aku tak kebetulan mencintainya,.
karena aku tak kebetulan mengenalnya..
Namun sebuah kebetulan yang aku tak ketahui,
bahwa dia adalah saudaraku..
Selama 20 tahun lamanya..
Catatan akhir, September 2009
Jombang, Oktober 2011
Sinopsis
Suatu kebetulan yang berujung memporak-porandakan perasaan cinta antara Rio dan Tere. Pengakuan cinta Rio selama setahun lamanya berujung pahit. Kronologi sejarah kelahiran Rio membuka tabir kebenaran dan mengantarkannya pada sebuah serendipity bahwa Tere adalah saudara sepersusuannya. Islam mengharamkan pernikahan saudara sepersusuan, itulah yang menjadi alasan Ayah Tere tak merestui pinangan Rio. Penyesalan Ayah Tere tak mampu menghapuskan perasaan cinta Rio dan Tere yang telah terbangun kokoh dimasing-masing hati mereka. Namun, dengan adanya Serendepity tersebut, mereka mampu mengerti dan memahami makna sebuah keikhlasan.
Cerpen ini dikirim :
Lomba Cerpen SSC FEB Unair 2011