Aku termenung disudut candela kamarku. Memandangi rembulan yang seakan mengejekku dengan kilau cahayanya. Inginku mengutuk rembulan tersebut, tapi apa ia tahu kemelut apa yang ada dalam dadaku? Akh! Semakin terasa sakit kalau aku mengingat tragedi tadi sore dengan Ibu dan Bapakku.
“Nduk,, kamu itu bocah wedok. Buat apa sekolah tinggi – tinggi? Toh nantinya kamu akan masak, macak, lan manak.” Lembut tapi tegas bapak memberi penjelasan terhadapku.
“Tapi Pak, aku belum ingin menikah, aku cuma ingin kuliah. OK! Kalau Bapak memang keberatan dengan biaya kuliah, aku akan bekerja dan menanggung sendiri biaya kuliahnya. Jadi Bapak nggak perlu repot – repot bekerja untukku.” Suaraku meninggi. Untuk kali ini aku berani membantah dengan memakai kata aku untuk menyebut diriku.
Ibuku yang duduk disamping bapak terlihat kaget menyadari perubahan sikapku.
“Sejak kapan kamu berani membantah seperti ini Nak? Itukah hasil didikan pesantrenmu selama ini?”
Kata – kata Bapak sungguh menohok hatiku. “Aku tak pernah minta tinggal di pesantren, Bapak yang dulu memaksaku. Aku hanya menuruti Bapak, apa salah kalau saat ini aku meminta hakku sebagai anak. Meminta kebebasan?? ” kata yang bertahun – tahun terpendam meluncur mulus dari mulutku.
“Astagfirullah.. !! nyebut Nduk..” Ibu mencoba menenangkanku. Bapakku masih terlihat tenang walau aku lihat pandangannya begitu tajam menatapku.
Diam, beberapa menit. Isyarat dari sebuah pandangan mata. Aku mampu membacanya. Tanpa mengatakan sepatah katapun aku pergi meninggalkan mereka berdua. Masuk kekamar. Dan menumpahkan semua. Aku menangis sejadi jadinya. Sesal dan marah menggerogoti ruang didadaku, dan aku tak mampu menahannya.
Sejak kejadian tadi sore, aku sama sekali tak keluar kamar. Hingga malam ini. Aku masih belum menemukan jalan mana yang mesti ku tempuh. Aku masih belum siap kalau aku dirumah, sudah pasti aku akan dinikahkan dengan orang tuaku. Bukan karna aku sudah punya kekasih hati. Tapi aku hanya tidak siap. Dan aku hanya ingin kuliah, ingin menuntut ilmu, ingin mengubah nasib keluargaku. Aku tidak ingin seperti teman – teman seangkatanku, selesai SMA langsung menikah dan tinggal bersama orang tuanya. Aku tidak ingin itu. Buat apa sekolah sampai SMA kalau ujung – ujungnya hanya nikah. Bukankah tinggal selangkah lagi untuk memperoleh gelar sarjana? Dan dengan gelar tersebut pekerjaan akan mapan, tidak menggantungkan orang tua lagi. Itu harapanku. Aku hanya ingin membahagiakan orang tuaku. Tapi mereka tak bisa memahami maksudku. Dulu waktu lulus SMP aku berniat melanjutkan di SMA daerahku. Dengan sekolah SMA, aku bisa dapat beasiswa lagi seperti waktu SMP, dan tidak merepotkan orang tua. Tapi Bapak malah memaksaku sekolah yang tinggalnya dipesantren. Aku tak bisa membantahnya waktu itu. Tapi sekarang giliran aku minta kuliah, dengan alasan biaya mereka melarangku. Sangat lucu kupikir, karena waktu di pesantren saja mereka kuat. Tentulah nggak jauh beda. Apalagi nanti aku bisa mengajukan beasiswa dikampusku. Akh! Pikiran bapak terlalu sempit. Kalau anak perempuan itu nggak harus sekolah tinggi – tinggi. Yang bertugas mencari nafkah kan laki – laki. Persepsi bapak sungguh kebalikanku. Bukan aku menyalahi kodrat sebagai perempuan. Tapi aku hanya ingin mandiri. Ketika nanti berumah tangga tidak hanya tergantung kepada suami.
“Mbak… adek pingin tidur sama mbak..” terdengar sayup suara adek memanggilku dan membuyarkan semua lamunanku. Aku membuka pintu kamar, adek berdiri diambang pintu dengan gaya mengucek – ngucek matanya. Tanpa pikir panjang, aku menggendongnya menidurkannya diatas kasur. Aku mengecup keningnya dan membacakan dongeng kancil sebagai pengantar tidur. Mungkin ini yang disuka adek dariku. Setiap aku dirumah, dia lebih sering tidur denganku. Masih berumur 2 tahun adekku yang bungsu, dan yang pertama berada di kelas 6 SD. Aku terlahir sebagai seorang anak petani desa, mempunyai 2 adik laki – laki yang masih kecil. Aku anak pertama. Mungkin karena alasan ini juga yang menguatkanku ingin kuliah dan merubah nasib keluargaku.
###
Usai sholat subuh, berniat membicarakan baik – baik masalah kemaren sore. Aku masuk kekamar bapak, tak ada. Aku menuju ke ruang sholat. Kudapati bapak dan ibu khusyuk berdo’a. lamat – lamat aku mendengarkan do’anya. Tak terasa air mataku meleleh. Hatiku bergetar mendengar do’a tersebut. Aku membungkam mulutku, berharap bapak dan ibu tak mendengar isakku. Aku kembali kekamar, tak kuasa ku menahannya.
“Mbak??” adekku terbangun mendengar isakku. Ia memegang pipiku. Aku semakin menangis dan memelukknya. Mungkin adekku bingung dengan apa yang kulakukan. “Ukh! Adek sesak nich..”. tak sadar akan pelukanku terhadapnya yang terlalu erat. Aku melepaskannya. Memandangi wajahnya dan menciumnya. Mencoba tersenyum. “Yuuk.. iyam dek??” adekku selalu senang mendengar kata mandi. Dia suka bermain air.
Usai memandikan adek dan mendandaninya, aku kedapur, membantu ibu masak. Mempersiapkan sarapan untuk keluarga. Tak ada percakapan dengan ibu. Aku takut memulainya. Aku tadi sempat melihat adek sedang belajar dengan bapak diruang tengah. Dan yang tadi kumandiin berkutat dengan mainannya diruang tamu. “Sungguh aku bahagia..” pekikku dalam hati.
Ditengah – tengah sarapan, aku memberanikan diri untuk memulai bicara, membahas pembicaraan kemaren yang tertunda karena ulahku.
“Ehm.. Pak, Bu.. Nduk minta maaf untuk yang kemaren.” Suaraku terdengar parau.
Diam, tak ada sahutan, hanya suara sendok menyentuh piring yang terdengar. Kedua adekku pun seperti tahu keadaan, si bungsu pun tidak rewel dipangkuan ibu. Aku jadi serba salah.
“Nduk salah Pak.. Bu.. Nduk minta maaf. Nduk nggak bermaksud untuk menentang Bapak ataupun Ibu, Nduk hanya ingin mengeluarkan pendapat dan unek – unek yang ada dalam hati Nduk.”
Masih diam.
“ sekarang, apa yang Bapak dan Ibu inginkan dari Nduk? Sebisa dan sesanggup Nduk akan menurutinya. Nduk nggak mau jadi anak durhaka, nduk nggak mau itu.”
Semua masih diam. Aku sudah kehabisan kata, apa yang ingin kuomongkan sudah kuucapkan. Akhirnya akupun ikut diam, menunggu keputusan dari Bapak ataupun Ibu.
“Mbak koq nggak maem??” celetuk adek bungsuku.
Aku tersenyum tanpa kata mengomentari pertanyaan adek. Takut salah ngomong, kalau di tanggepin biasanya adek makin cerewet.
“Ehm.. bapak sama Ibu slalu memaafkan setiap kesalahan anak – anaknya nduk, tanpa kamu minta maafpun kami sudah memafkankan. Bukan begitu Bu? Hmm,,”
Ibu tak komentar. Hanya anggukan dikepala.
“ Begitu juga demikian, ketika orang tua salah, alangkah baiknya kamu menegurnya. Dengan tanda kutip, menegur dengan cara yang sopan. Ingat sopan santun dan unggah ungguh Nduk kalau sama dengan orang tua. ”
Aku tertunduk mendengarkan, tak berani menatap wajah ayah.
“ Bapak bukannya koq melarang kamu kuliah Nduk,, tapi keberatan. Dan bapak juga punya alasan yang kuat seperti kamu yang kukuh dengan alasanmu ingin kuliah. Bapak itu ingin kamu mengajar ngaji di desa ini Nduk, siapa lagi yang akan menyelamatkan desa ini dari kebodohan? Tujuan utama bapak menyuruhmu menimba ilmu dipesantren itu agar kamu matang dipendidikan agama, dan kuat memperjuangkan agamaNYA. Dan saatnya inilah, kamu membuktikan iman dan ilmumu? Kuat tidak menghadapi masyarakat disini? Kemaren bapak bilang untuk apa kuliah kalu ujung – ujungnya masak, macak, manak. Itu bapak ingin menguji mental kamu. Ternyata kamu masih terlalu egois menghadapi pendapat orang lain. Kamu tahu Khadijah Istri Nabi kan Nduk? Bapak ingin kamu seperti beliau. Beliau yang berjuang mati – matian mendampingi Nabi memperjuangkan agamaNya. Sekarang Bapak Tanya, niatmu kuliah itu untuk apa?”
Aku menyelami kata demi kata yang keluar dari mulut Bapak. Aku memahaminya. Ragu – ragu aku menjawab.
“ biar dapat gelar, dan dapat pekerjaan yang layak supaya bisa membahagiakan Bapak dan Ibu.”
“ Nduk.. Nduk… niat kuliah koq seperti itu?? Berarti hanya mementingkan urusan dunia, tidak akhirat? ” bapak mengambil nafas.
“ Semua memang harus kita rencanakan Nduk, tapi apapun nanti, itu keputusan Allah, kalau kamu niat kuliah hanya mencari dunia, maka yang kamu dapat hanya dunia, tapi jika kamu niat menuntut ilmu, memberantas kebodohan, menuntut ilmu karena Allah. Insya Allah, Allah akan memberi jalan.”
Aku mencerna kata – kata Bapak, memahaminya. Kemudian aku tersenyum. Bapakpun demikian, seolah bisa membaca pikiranku. Aku berdiri.
“SIAP KOMANDAN!! Kalau begitu Nduk siap dirumah dan berjuang di tempat kelahiran. Hemm.. tapi Bapak juga harus bantu. Hehe..” Ucapku lantang sambil nyengir.
“LAKSANAKAN!!” ucap Bapak tak kalah lantang dariku bak Pembina upacara.
Aku melangkah tegap dengan senyum mengembang, bersiap memulai perjuangan. Ya! perjuangan memberantas kebodohan, dan menegakkan AgamaNya. Allahu Akbar!! Ucapku dalam hati.
Dearest :
My Parents.. I Always Love You..
0 komentar: